Langsung ke konten utama

Tentang Ilmu Dari Sekeloa

Bismillah.

Waktu itu shalat subuh di mesjid di Sekeloa sekitar 43 langkah dari kosan Yandi. Selesai shalat ada tausiyah. I was like: “..cool..”.

Yang memberi tausiah itu orang berparaskan etnis tionghoa. Tapi itu tidak penting. Yang penting itu beliau ini ternyata punya mulut. Yang lebih penting lagi adalah pesan-pesan yang keluar dari mulutnya itu. Karena dari mulutnya itu saya jadi mengetahui beberapa hal yang tadinya saya mengsoktahui:

Ternyata mencari ilmu itu hukumnya dibagi menjadi dua (menurut pendapat ulama).
Pertama fardu ain, kedua fardu kifaiyah. Saya pun cengo.

Fardu ain itu wajib bagi setiap orang Islam, tidak terkecuali. Sehingga tidak memenuhi kewajiban tersebut berarti berdosa. 
Sedangkan fardu kifayah adalah kewajiban yang apabila sudah dilaksanakan oleh sebagian orang, maka gugur sudah kewajiban itu bagi yang lain.

In other words, kewajiban yang bisa diwakilkan. Contohnya adalah salat jenazah – kalau tidak ada yang menyalatkan jenazah itu semua masyarakat  berdosa, tapi jika ada yang menyalatkan biarpun hanya 2-3 orang, maka kewajiban sudah dipenuhi. Yang lain tidak berdosa.

Nah, ilmu yang dikategorikan fardu ain adalah ilmu agama, ilmu Islam.
Sedangkan yang termasuk fardu kifayah adalah ilmu lainnya yang kita pelajari seperti ilmu kedokteran, sastra, politik, pertanian, sosiologi, dan bahkan futsal.

Berarti untuk ilmu-ilmu yang kita pelajari di sekolah dan kampus, jika dalam suatu masyarakat sudah ada orang yang memiliki keahlian dalam suatu bidang ilmu, maka sudah tidak menjadi wajib. Kita tidak berdosa (santai…)

Sedangkan mempelajari Islam, sebagaimanapun ceteknya, adalah kewajiban bagi setiap yang mengaku Muslim. Tidak belajar, berdosa. Tidak ada kompromi. (tidak santai!)

Saya pikir, ini berterima. Masuk akal. Karena target kita bukan hanya dunia, tapi akhirat juga. Jadi prioritas ditekankan pada ilmu yang bisa mengantarkan kita kepada kebahagiaan akhirat - Ilmu Islam.

Ya, ini masalah prioritas. ..
Tausiah itu berlanjut…

Jadi analoginya itu pakaian. Ilmu Islam itu ibaratnya seperti baju dan celana kita. Sedangkan ilmu dunia itu aksesoris kita: gelang, cincin, jam tangan.
Percuma aksesoris lengkap, tapi tidak berbaju dan bercelana.
  
Wallahualam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedikit Tentang Shalat

Predikat sholeh atau alim sering kita berikan kepada orang-orang yang menjaga shalatnya. “Dia mah anaknya sholeh banget, shalat 5 waktunya gak pernah bolong”. Ada yang aneh kalau dipikir-pikir. Kita yang aneh, persepsi kita.                    Shalat 5 waktu = Muslim yang sholeh.  Padahal shalat itu kewajiban seorang Muslim. Shalat itu salah satu rukun Islam. Berarti tanpa shalat kita tidak ber-Islam dan bukan seorang Muslim. Yang berarti shalat 5 waktu membuat kita menjadi Muslim. Jadi persamaan ini rasanya lebih tepat:          Shalat 5 waktu = Muslim (aja, standar). Shalat 5 waktu itu sangat biasa, karena kita Muslim. Shalat inilah yang membedakan kita dengan agama yang lain. Kita puasa, agama lain pun puasa. Kita zakat, agama lain pun begitu. Shalat itu Islam dan hanya Islam. Its what makes us unique .  Sakin...

Belajar Menjadi, Dan Dari, Orang Tua

Bismillahirrahmanirrahiim Jika Allah mengizinkan, saya akan diamanahkan seorang anak beberapa hari lagi . I can’t really tell you how I am feeling - perasaannya mungkin terlalu campur aduk. Tapi saya bisa sedikit berbagi tentang hal-hal yang mulai ngumpul dikepala, dan yang paling utama adalah: “bagaimana caranya jadi orang tua yang baik?” Untuk menjawab pertanyaan ini saya sudah mulai baca-baca beberapa judul buku dan article tentang parenting. Tapi terus saya berpikir: “Ngapain saya capek-cape nyari buku tentang parenting, sedangkan contoh real, nyata, terbukti dan sangat terasa keberhasilannya ada di dalam hidup saya!” Meminjam istilah yg di pake Randy Pausch:  “I won the parent lottery” . Kalo takdir pembagian orang tua itu sebuah undian, maka saya dan adik2 saya lah pemenang utamanya. Kami telah dihadiahkan oleh Allah orang tua yang terbaik. (Namun, sedikit sekali kami bersyukur untuknya). Kenapa saya merasa beruntung? Well, let me tell you a tiny bit abo...

Renungan, After He's Gone

Its been over a month since my father passed away. We are still in mourning because we miss him. Mungkin nanti seiring berjalannya waktu, rasa shock, sedih dan kangen itu akan mulai perlahan hilang. But a part of me don’t want that feeling to go away. Pengen terus kangen. Sebenarnya saya pribadi sudah sering diam-diam mempersiapkan diri untuk merasakan rasa kehilangan ini. Setiap kali kami sekeluarga ngumpul, selalu ada lintasan pikiran yang bilang: suatu saat pasti personil berkurang satu. Pasti. It could even be me. But you just cant prepare yourself mentally for things like these. Apalagi semendadak ini. Sejak kejadian kemarin, yang sering kepikiran kebaikan-kebaikan almarhum, flashback adegan di mobil saat sakratul maut, mikirin apa yang dipikirkan oleh Ayamu di momen-momen terakhir, gimana almarhum di alam kubur. Semoga Allah shows love to him the way he loved us. Tentu ada hal lain juga yg muncul di pikiran seperti bagaimana saat saya nanti mengalami sakratu...