Imam bilang: Lurus dan rapatkan shaf.
Saya berpikir: Lurus agar rapi, tapi rapat untuk apa? Kenapa harus rapat sampai kaki bersentuhan?
Saya disodorkan sebuah jawaban: kata Rasul harus rapat, biar setan tidak bisa lewat.
Sami’na wa’ata’na. Saya dengar dan saya taat. Kaki pun dirapatkan.
Tapi sebentar, setan mana? Dalam wujud apa? Setan jin atau setan manusia?
Ternyata bukan keduanya. Tapi kita sendiri. Sifat setan yang ada pada diri kita, orang-orang yang salat.
Sifat setan yang mana? Sifat setan yang diskriminatif, sombong dan menimbulkan perselisihan.
Jangan deket-deket, saya kaya kamu mah miskin. Saya mah menteri, kamu mah rakyat. Saya mah bos kamu mah bawahan. Saya berpendidikan kamu mah bodoh. Saya putih kamu mah hitam. Saya Jawa kamu mah Batak. Saya Indonesia kamu mah Malaysia. Setan ini yang dimaksud.
Tidak ada masjid khusus Batak, masjid khusus Sunda, masjid khusus Minang. Saat dengar adzan semua berhak (diwajibkan) memenuhi panggilan itu dan datangi masjid terdekat.
Semua sama dihadapan Allah. Tidak ada saf khusus pejabat dan saf khusus kuli. Semua sama. Yang datang duluan, dialah yang dapat kemuliaan saf pertama. Saksikan PNS berdiri disamping tukang becak yang berdiri disamping CEO perusahaan mobil yang berdiri disamping guru SD yang berdiri disamping mantan napi yang berdiri disamping polisi. Sama-sama bersujud dengan satu gerakan yang seragam. Dan diakhiri dengan : assalamualaikum warrahmatullah wabarakatuh ke kiri dan ke kanan. Saling mendoakan demi keselamatan satu sama lain. Kurang indah apa?
Banyak peraturan dibuat diseluruh dunia untuk memusnahkan masalah rasisme, sukuisme, diskriminasi sosial dll. Tapi yang menawarkan sebuah sistem kokoh berkesinambungan untuk mengatasinya hanya Islam. Datangi masjid untuk memenuhi panggilan shalat dan buktikan sendiri.
Wallahualam.
Source: Ahmed Deedat
saya paling suka uraian yang ini! mantep mas ji!!
BalasHapus