Penjajahan mengakibatkan banyak hal untuk negara yang dijajah. Salah satunya adalah menanamkan, entah secara sengaja atau tidak sengaja, sebuah gagasan bahwa orang Barat itu lebih hebat daripada orang Timur. Begitu katanya.
Ini saya kutip dari skripsi saya. Kali aja seru. Enjoy.
Konsep Superioritas dan Inferioritas dalam Konteks
Kolonialisme
Kolonialisme sudah
pasti tidak terpisah dari konsep superioritas dan inferioritas. Singkatnya,
konsep atau gagasan ini menyatakan bahwa kulit putih merupakan golongan yang
superior dan kulit warna merupakan golongan yang inferior. Mengenai timbulnya konsep tersebut terdapat
beberapa pandangan yang berbeda. Adakah konsep superioritas-inferioritas ini
sebab atau akibat dari kolonialisme? Dalam Black
Skin, White Masks Fanon secara kritis membahas persoalan ini. Fanon
mempresentasikan sebuah pandangan oleh M. Mannoni yang berpendapat bahwa konsep
superioritas-inferioritas adalah yang menyebabkan terjadinya kolonialisme. Pada
saat yang bersamaan ia juga memberikan sanggahannya.
Inti dari ide
Mannoni yang ditentang keras oleh Fanon didasarkan pada kalimat ini yang
dikutip oleh Fanon dalam bukunya: “The
fact that when an adult Malagasy is isolated in a different environment he can
become susceptible to the classical type of inferiority complex proves almost
beyond doubt that the germ of the complex was latent in him from childhood” (Fanon,
1967: 84). Objek dari pengamatan
Mannoni adalah seorang Malagasy yang berkulit hitam. Mannoni menemukan bahwa
setiap kali lelaki Malagasy itu masuk ke dalam lingkungan yang berbeda dari
lingkungan aslinya ia memiliki kecenderungan untuk menderita inferiority complex. Ini membuat Mannoni
berkesimpulan bahwa perasaan inferior ini memang ada pada orang-orang Magalasy
khususnya, dan orang kulit hitam pada umumnya, sejak lahir.
Mannoni kemudian
berteori bahwa perasaan inferioritas ini menimbulkan dependency complex, yang bila terpuaskan, perasaan inferior
tersebut tidak lagi akan mengganggunya. Menurut Mannoni, dependency complex pada orang-orang kulit hitam inilah yang
menyebabkan atau mengundang terjadinya kolonialisasi. Kehadiran penjajah
merupakan sesuatu yang expected,
bahkan desired oleh kaum yang
nantinya akan dijajah. Oleh karenanya, kehadiran white man disambut dengan baik oleh orang-orang kulit hitam ini: “It becomes obvious that the white man acts
in obedience to an authority complex, a leadership complex, while the Malagasy
obeys a dependency complex” (Fanon, 1967: 99). Penjajahan memenuhi kecenderungan dua belah pihak, baik penjajah,
maupun terjajah. Maka dengan terjadinya penjajahan, menurut Mannoni, “Everyone is satisfied”.
Fanon menentang keras pandangan yang ditawarkan Mannoni
ini. Ia berpegang teguh pada pernyataanya: “It
is the racist who creates his inferior” (Fanon, 1967: 93). Jika Mannoni
berpendapat bahwa inferioritas adalah sesuatu yang bersifat lahiriah yang
secara alamiah terdapat di dalam jiwa orang-orang kulit warna, Fanon mengatakan
bahwa inferioritas adalah sesuatu konsep hasil buatan manusia. Menurut Fanon yang
menciptakan orang konsep inferior adalah seseorang atau golongan yang rasis.
Golongan inferior
tidak akan pernah ada jika tidak ada golongan yang menganggap dirinya superior.
“The feeling of inferiority of the
colonized is the correlative to the European’s feeling of superiority”
(Fanon, 1967: 93). Seorang rasis
adalah orang yang menganggap ras dan golongannya lebih baik atau superior dari
yang lain. Seperti disebutkan oleh Fanon sebelumnya, seorang rasis inilah yang
menciptakan adanya golongan inferior. Dalam konteks ini, racist yang dimaksud oleh Fanon adalah Barat atau Eropa yang membentuk ‘feeling
of superiority’ dan karena itu menganggap semua yang
berbeda dengannya inferior.
Fanon menegaskan
bahwa perasaan inferior pada orang kulit warna tidak muncul sejak ia lahir, dan
tidak pula saat pertama ia melihat atau bertemu dengan orang kulit putih.
Pertemuan dengan kulit putih tidak lantas membuat orang kulit warna merasa
rendah atau tidak sepadan. Menurut Fanon tidak ada alasan bagi orang kulit
warna, atau dalam kasus ini orang Malagasy, untuk merasa rendah diri saat
pertama mengetahui bahwa di dunia ini terdapat ras lain, yaitu kulit putih: “A Malagasy can perfectly tolerate the fact
of not being a white man” (Fanon, 1967: 98). Perbedaan seperti ini pasti
dapat diterima oleh siapapun, tidak terkecuali orang kulit warna.
Semua akan
baik-baik saja kalau bukan karena sikap orang kulit putih yang sombong dan menganggap dirinya lebih tinggi. Hanya itu yang dapat mempengaruhi kondisi
psikologis golongan kulit warna. Manusia-manusia biasa yang tinggal di daerah
itu dan menjalankan kehidupan “Malagasyhood”
mereka, kini harus menjadi objek klasifikasi. Mereka bukan lagi manusia biasa
tapi orang-orang Malagasy: “If he is a
Malagasy, it is because the white man has come, and if at a certain stage he
has been led to ask himself whether he is indeed a man, it is because his
reality as a man has been challenged” (Fanon, 1967: 98). Jika mulai ada pertanyaan-pertanyaan pada
benak orang-orang kulit warna tentang eksistensi dirinya, itu semua bukan tanpa
alasan. Bagi Fanon, semua ini disebabkan oleh ulah kulit
putih yang tidak hanya datang dan
memaksakan kehadirannya, tapi juga menjelek-jelekkan kaum pribumi dan menekan
mereka untuk mengakui superioritas kulit putih (Fanon, 1967: 98).
Bisa dibilang, saya juga sependapat dengan Fanon. Pendapat saya diperkuat sama pernyataan John Locke tentang human understanding, bahwa manusia pada awalnya berada dalam kondisi 'tabula rasa' atau kosong, tanpa pemikiran. Kemudian pemikiran-pemikiran (dalam kasus ini pemikiran superioritas-inferioritas) ini berkembang oleh lingkungan tempat orang itu tinggal sering pendewasaan orang tersebut.
BalasHapus