Langsung ke konten utama

Isi CV Kita di Akhirat

Humans are obsessed with results.

Saat kita mau naik kelas atau lulus sekolah, yang dilihat adalah nilai kita. Saat kita mengikuti perlombaan, yang dinilai adalah hasil point kita. Begitu juga saat kita mau melamar pekerjaan, yang terpampang di CV kita adalah daftar raihan prestasi kita. Bagaimana cara dan usaha kita mendapatkan nilai dan prestasi itu? That’s not important.

Orang gak mau tau jerih payah, jatuh bangun, perjuangan kita dalam melakukan sebuah usaha. Pokonya kalau gagal mendapatkan hasil yang baik, ya kita dianggap gagal. Kita kurang hebat.
Ini memang alamiah. 

Begitulah cara manusia menilai kehebatan seseorang. Kita menilai dari prestasi, dari hasil akhir yang bisa dilihat.

Kalau Allah, sebaliknya.

Yang dinilai adalah usaha kita. Hasilnya bagaimana? That’s not important.

CV yang akan ditunjukkan di akhirat adalah CV yang disana terpampang semua usaha kita. Dari situ lah kehebatan kita dinilai.

Banyak Nabi yang prestasi amalnya menyedihkan. Nabi Nuh contohnya, berdakwah selama 950 tahun, tapi hanya mampu mendapatkan 80 orang pengikut. Nabi Musa susah payah menyelamatkan dan mencerahkan Bani Israil, mereka malah menyembah patung sapi. Nabi Muhammad SAW dan para sahabat sempat berjalan berbulan-bulan dari Madinah ke Mekkah untuk melakukan Haji, tapi sampai Mekkah tidak diperbolehkan masuk dan langsung kembali pulang.

Mereka gagal meraih prestasi dalam usaha mereka tersebut, tapi Allah doesn’t care. Mereka tetap ditinggikan derajatnya karena usahanya.

Begitu juga dengan kita. Kita harus paham bahwa yang peduli dengan hasil akhir itu manusia, bukan Allah.

Jadi, mungkin saja orang yang melakukan amal yang kecil tapi susah payah melawan lingkungan, godaan dan rintangan demi melakukannya, bisa jadi dimata Allah sama hebatnya dengan orang yang dengan sangat mudah melakukan satu amal yang dinilai besar. Bisa jadi. Karena yang dicatat adalah usaha kita.

Yang harus kita lakukan adalah bertanya jujur kepada diri sendiri: Bagaimana usaha kita untuk menjadi lebih baik di mata Allah?

Semoga bermanfaat.

Allah knows best.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedikit Tentang Shalat

Predikat sholeh atau alim sering kita berikan kepada orang-orang yang menjaga shalatnya. “Dia mah anaknya sholeh banget, shalat 5 waktunya gak pernah bolong”. Ada yang aneh kalau dipikir-pikir. Kita yang aneh, persepsi kita.                    Shalat 5 waktu = Muslim yang sholeh.  Padahal shalat itu kewajiban seorang Muslim. Shalat itu salah satu rukun Islam. Berarti tanpa shalat kita tidak ber-Islam dan bukan seorang Muslim. Yang berarti shalat 5 waktu membuat kita menjadi Muslim. Jadi persamaan ini rasanya lebih tepat:          Shalat 5 waktu = Muslim (aja, standar). Shalat 5 waktu itu sangat biasa, karena kita Muslim. Shalat inilah yang membedakan kita dengan agama yang lain. Kita puasa, agama lain pun puasa. Kita zakat, agama lain pun begitu. Shalat itu Islam dan hanya Islam. Its what makes us unique .  Sakin...

Belajar Menjadi, Dan Dari, Orang Tua

Bismillahirrahmanirrahiim Jika Allah mengizinkan, saya akan diamanahkan seorang anak beberapa hari lagi . I can’t really tell you how I am feeling - perasaannya mungkin terlalu campur aduk. Tapi saya bisa sedikit berbagi tentang hal-hal yang mulai ngumpul dikepala, dan yang paling utama adalah: “bagaimana caranya jadi orang tua yang baik?” Untuk menjawab pertanyaan ini saya sudah mulai baca-baca beberapa judul buku dan article tentang parenting. Tapi terus saya berpikir: “Ngapain saya capek-cape nyari buku tentang parenting, sedangkan contoh real, nyata, terbukti dan sangat terasa keberhasilannya ada di dalam hidup saya!” Meminjam istilah yg di pake Randy Pausch:  “I won the parent lottery” . Kalo takdir pembagian orang tua itu sebuah undian, maka saya dan adik2 saya lah pemenang utamanya. Kami telah dihadiahkan oleh Allah orang tua yang terbaik. (Namun, sedikit sekali kami bersyukur untuknya). Kenapa saya merasa beruntung? Well, let me tell you a tiny bit abo...

Renungan, After He's Gone

Its been over a month since my father passed away. We are still in mourning because we miss him. Mungkin nanti seiring berjalannya waktu, rasa shock, sedih dan kangen itu akan mulai perlahan hilang. But a part of me don’t want that feeling to go away. Pengen terus kangen. Sebenarnya saya pribadi sudah sering diam-diam mempersiapkan diri untuk merasakan rasa kehilangan ini. Setiap kali kami sekeluarga ngumpul, selalu ada lintasan pikiran yang bilang: suatu saat pasti personil berkurang satu. Pasti. It could even be me. But you just cant prepare yourself mentally for things like these. Apalagi semendadak ini. Sejak kejadian kemarin, yang sering kepikiran kebaikan-kebaikan almarhum, flashback adegan di mobil saat sakratul maut, mikirin apa yang dipikirkan oleh Ayamu di momen-momen terakhir, gimana almarhum di alam kubur. Semoga Allah shows love to him the way he loved us. Tentu ada hal lain juga yg muncul di pikiran seperti bagaimana saat saya nanti mengalami sakratu...